Remember the five simple rules to be happy:

Kamis, 20 Mei 2010

CORETAN ANGGOTA

TULISAN KARYA YUNDA:
MIMPIKU KINI MENJEMPUT

BY : DWI YUNDA A

Aku adalah seorang mahasiswa di sebuah univertas yang cukup ternama di pulau Jawa. Kini usiaku menginjak 20 tahun. Aku adalah salah satunya mahasiswa yang terbalut cinta. Aku menaruh hati pada seseorang yang mungkin cukup terkenal di kampusku. Begitulah ku memanggil tempat untuk ku menuntut dan menggali ilmu saat ini. Dia memiliki nama Mahfudzin. Nama yang cukup mudah untuk diingat dan dikenal para orang lain. Tentunya juga aku. Dia memang tak tampan dibanding teman-teman yang lain. Tapi dia mampu mencuri hatiku yang saat itu bisa dibilang gundah gulana.
Pagi yang berselimutkan embun, saat itu ku sempatkan diri tuk menengok ke meja dimana ia biasanya tempati itu. Aku berkata dalam hati, “aina huwa, kok tidak seperti biasanya dia belum terlihat?” . Begitulah ucapku dalam hati. Sejenak ku berfikir, dalam lamunanku ku dibangunkan Jihan, temanku. Teman yang selalu ada untukku saat suka dan dukaku. Namun ku belum bisa membalas banyak semua kebaikannya. Huuh….biar Allah saja nanti yang membalas semua kebaikannya, dengan surga haqiqi-Nya. “hayoo…mikirin Mahpud ya?”. Ya, memang begitulah nama akrab Mahfudzin biasanya di panggil oleh teman-teman sekampus. Memang, apa-apa yang sedang kurasakan kuceritakan pada sahabat baikku itu. Ku akui aku menaruh hati pada sesosok Mahpud. Tak ubahnya teman-teman yang lain yang juga memiliki perasaan yang sama walau hanya sekedar nge-fans.
Ketika ku berada dalam kepenatan di ruangan, aku memutuskan untuk sekedar refresh sejenak otakku diluar. Aku beranjak pergi ke kantin sekolah. Tak kusangka ku dapati ia, Mahpud yang kucari-cari berada di ruang uks yang ukuranya kurang lebih 4x4 meter itu terbaring sakit tak berdaya. Kulirik wajahnya pucat pasi. Dia berselimut angin. Ku ingin mendekatinya. Namun….itu bukan yang diajarkan padaku. Aku hanya boleh mencintainya, bukan menyentuhnya kecuali, ia adalah suamiku. Ku kembali saja di ruanganku dengan perasaan bingung penuh pertanyaan yang bertubi-tubi.
Lonceng bordering. Tanda seluruh materi yang diajarkan para dosen kepada para mahasiswa telah usai. Aku dan temanku Jihan bergegas keluar dari ruangan untuk menengoknya lagi. Namun tak kudapati dia di ruangan itu. “ya ukhti, kok gak ada? Yakin, tadi ana melihatnya disini”,tanyaku pada Jihan. Jihan sendiri menggeleng kepala tanda tidak tahu-menahu soal ketidak adaan Mahpud. Ku coba untuk tenangkan hati dan fikiranku bahwa dia akan baik-baik saja.
Salah satu temannya lewat. Walau awalnya ku tak pernah berani bercakap-cakap dengan seorang pria, namun kali ini ku beranikan diri untuk bertanya akan keberadaan Mahpud. “assalamualaikum, Jery, ana ingin bertanya, kira-kira antum tahu tidak keberadaan teman antum yang sedari tadi pagi terbaring di uks ini?”, tanyaku perlahan, karena takut salah dan kasar ataupun menyinggung hatinya dalam pengucapanku. Ya, memang inilah aku. Zahra yang yang mungkin bisa dibilang kuper atau apalah yang sejenisnya. “ waalaikumsalam…o…. Mahpud to?!la yo, aku dari tadi juga nyari-nyari deweke,tapi yo gak ketemu-ketemu, aku yo bingung”, ucap Jery dengan logat yang penuh Jawanya itu. Jery adalah keturunan orang Jawa dan Sunda. Maka tak salah lagi jika cara dia berbicarapun logat itu masih tertanam tegar di lisannya. “lo…kok you malah gak tahu sih… bukannya you best friendnya?”, tegur Jihan dengan cara dia berbicara agak kebarat-baratan itu. Karena Jihan pernah inigi berkunjung ke Negara Amerika. Namun sampai sekarang belum kesampaian juga. Hahahahahah ,maklum,,.
Ketika semua terdiam, salah satu teman yang memiliki julukan “bintang kelas universitas” berteriak,”ada yang mau bunuh diri!”. Dengan sangat respon, aku, Jihan dan Jery lari mendekati sumber suara. Banyak mahasiswa yang sudah berjubelan di halaman belakang ruang para dosen yang biasanya digunakan untuk latihan basket. Di sebelah halaman terdapat sebuah tiang tower yang cukup tinggi. Semua mata memandang ke arah puncak tower. Dengan penuh keheranan aku, Jihan dan Jery memfokuskan pandangan ke puncak tower. Aku yang memang dari kecil memakai kacamata, ya…cukup jelas untuk bisa melihat kearah yang agak jauh. Ternyata….ternyata Mahpudlah yang berada di atas tower itu. Mahpud alias Mahfudzin yang ku nantikan kehadirannya di hatiku. Memang tak salah lagi bahwa itu adalah Mahpud. Aku kembali di bayang-bayangi pertanyaan yang membuatku sedih dan bingung kembali. “ ya Allah.. apa yang membuat dia melakukan hal sekeji ini pada dirinya sendiri? Mengapa ia menyakiti dirinya sendiri?”
Aku langsung mengambil microphone di ruang dosen. Lalu ku lantunkan sebuah syair untuknya, berharap agar dia turun dari tower mengerikan itu. Walaupun dengan rasa gemetar dan tak tenang serta rasa malu pada teman- teman, aku mencoba optimis bahwa aku bisa meyakinkanya bahwa apa yang dilakukanya itu tidak benar. Ku ambil diary kecilku yang selalu menemaniku yang ku letakkan di dalam tas. Lalu ku bacakan untuknya puisi yang memang dulu inigin ku sampaikan padanya.

Tuhan…
Mawar ini penuh duri
Cinta ini penuh luka
Hati ini penuh dengan irisan sembilu
Tuhan…
Ombak laut pergi
Burungpun tek singgah di singgasana
Pohonpun ogah tuk melambai
Tuhan…
Awan itu menghilang
Tak lagi ikuti fikiranku
Fikiran yang penuh sesak
Jangan Tuhan! Jangan !
Tak ingin ku melayang tanpa udara
Tak ingin ku singgah tanpa langit
Tak ingin ku berbincang tanpa bintang
Bintang yang luluhkan 1000 rasa dan asa
Dan…menghilang dihempas gelombang?!
Bintang…ku menunggumu di seberang

Kemudian sesaat, aku tak sadarkandiri. Aku tak tahu apa yang menimpa diriku. Ketika ku membuka 2 katup mataku yang kulihat adalah seorang pria yang terbaring di sampingku. Lalu ku berkata,”astaghfirullahaladzim,ma ta’mal huna?”, tanyaku pada pria yang memiliki nama lengkap Mahfudzin Khoirul Alim yang sama-sama aku dengannya mengambil jurusan bidang materi keagamaan khususnya bahasa arab dalam universitas ini. “la tahsyin ya ukhti”, tegurnya, yang artinya “janganlah khawatir”.

Sesaat, dia menceritakan padaku tentang apa yang sedang terjadi pada diriku. “saat antun lantunkan puisi tadi, sungguh ana menangis menyesali akan apa yang telah ana perbuat. Ana sangat bodoh sekali melakukan hal yang tak disukai Allah ini. Jiwa ini seperti hidup kembali, setelah sekian lama runtuh bagai puing-puing gempa di atas bumi ini. Apa yang membuat gerangan melakukan hal ini? Apakah gerangan ingin membantu ana? Keluar dari masalah yang telah menghimpit?”. Lalu dengan tenang dan halus ku mencoba menjawabnya,” afwan, jika sebelumnya ana lancang melakukan hal seperti ini yang mungkin belum terlintas di benak antum. Ana ….”,” kamu tak lancang melakukan hal seperti ini. Malah ana ingin berterima kasih pada antun karena telah sedikit membantu menghidupkan jiwa ana kembali, jiwa yang dulu pernah terbenam luka . Jikalau ana boleh tahu, sedari tadi kita telah bercakap-cakap namun ana belum mengenal antun, nama antun siapa?”. Ya Allah aku sampai lupa. Memang aku telah mengetahui namanya. Tapi tidak dengan dia. Dia belum mengenaliku. Subhanallah…” lho.. kok ukhti malah nglamun? Apakah saya salah untuk mengetahui nama antun?”,pekiknya yang juga membuatku bangun dan tersadar dari lamunanku.
“ ismi Zahra, Zahrofatun Nisa”.
“o…. Zahra..!?seperti bunga”. Jihan datang membuyarkan percakapanku dengan Mahpud. Jihan mengajakku untuk cek ke dokter tentang kesehatanku saat ini. Untunglah…

Selang beberapa hari kemudian , Mahpud menghampiriku dengan temannya, Jery. Padahal aku sedang menyelesaikan pembuatan novel terbaruku yang berjudul “ Cinta diujung pena”. Ia ingin berbagi kisah denganku.

Sekian lama, aku dengannya cukup bersahabat, dia mengabarkan padaku melalui sepucuk surat yang ia selipkan di bagian tengah bukuku, yang berisikan:



To : Zahra sahabatku

Assalamualaikum…
Zahra, ana tak tahu harus memulainya dari sisi mana. Selama ini antun sudah baik banget sama ana. Maaf jika ana belum sempat bisa membalas kebaikan antun. Zahra, ingatkah kamu saat kejadian yang akan kulakukan itu? Jawabannya dari masalahku itu ada pada diriku sendiri. Memang, ana tak mencintai wanita yang dipilihkan orangtua ana. Tapi ana tidak mau membuat orang tua sakit-sakitan menderita seperti ini. Kini ana harus bisa menerima wanita itu dengan apa adanya.
Zahra, sahabatku, perlu antun ketahui, bahwa esok ibu ana akan menjalani operasi. Beliau menderita kanker otak. Ana tidak tahan akan apa yang terjadi dengan ana sendiri jikalau seandainya ibu semakin berfikir keras akan keputusan ana yang dulunya tak pernah mau menerima wanita itu, dan….ia gagal dioperasi. Ana sungguh tidak mau. Ana belum siap ditinggalakn ibu.dan hari ini ana ingin berpamitan dengan antun . Ana akan pergi ke Singapore untuk menemani ibundaku tercinta melewati masa-masa kritis saat operasi berlangsung. Namun disana ana juga akan dinikahkan dengan wanita itu, Ratna, yang selama ini telah dicarikan dan dijodohkan untuk ana. Walau itu belum sigap ana untuk menerimanya.
Zahra ana minta maaf sekali. Ana selalu bercerita, membebanimu dengan cerita kehidupanku, sedangkan antun belum pernah sama sekali membebani fikiran ana dengan secuil kata cerita antun.
Zahra, puisi yang antun beri pada ana, akan ana simpan walau hanya di hati. Zahra, syukron katsiron ‘ala musa’idakun. Namun ana belum bisa membalasnya. Jika suatu saat nanti qta masih dipertemukan kembali oleh Allah, ana tak akan lpa akan semua kebaikan yang antun berikan pada ana selama ini.

Zahra, sahabatku, sekali lagi ana minta maaf
Memang, persahabatan ini terlalu cepat untuk mencapai kata berpisah, namun bukan bersrti persahabataan ini berakhir sampai disisni.

Salam persahabatan dariku untukmu, Zahrofatun Nisa’


Mahfudzin
Wassalamualaikum…

Ya Allah, secepat inikah Kau memisahkan ku dengannya? Padahal aku ingin berbagi cerita dengannya. Masya Allah……
Tak sadar kuteteskan air mata. Terlalu cepat kau meninggalkanku seperti ini. Tapi apa dayaku? Aku tak mungkinmencegah keberangkatannya ke Singapore.

Di saat-saat aku sendiri, aku benar-benar kesepian. Seorang pria yang ku tunggu selama 5 tahun sudah, berlalu entah kemana, dan dengan siapa. Namun ku tak mau berkelanjutan larut dalam kesedihan.

Saat malam datang, ku sempatkan diriku menulis surat untuknya, Mahpud yang tak kan pernah ku berikan padanya. Ya. Surat ghaib. Begitulah aku, ketika malam hari datang menyapaku aku sempatkan untuk menulis surat ghaib untuknya tentang isi hatiku. Dan di pertengahan malamnya ku sempatkan diriku untuk ku basuh sebagian tubuhku dengan segenap air wudlu yang dapat menyegarkan tubuh dan jiwaku sehabis ku bangun dari lelapnya tidurku, dan bertahajud serta bermunajah pada Sang Maha Pencipta. Namun aku juga tak mau jika suatu saat nanti Mahfudzin mengetahui isi hatiku sesungguhnya, apalagi isi diaryku ini. Ya….semoga begitu.
Ku tak tahu ini surat yang ke berapa. Aku sudah lupa. Karena banyaknya surat yang kutulis sejak kepergiannya ke negeri seberang.

“ass……Mahpud…
Memang kau tak tampan. Namun bukan itu yang aku dambakan. Selama ini aku memang menunggumu. Aku memang menantimu. Semenjak kelas 2 SMA kita berada dalam sekolah yang sama dan bersama, aku telah menaruh hati padamu. Sampai kini ku berumur 23 th pun aku masih memiliki perasaan yg sma yg tak beralih. Ya…..jika suatu saat nanti aku dipertemukan denganmu, ku hanya inginkau thau bahwa aku mencintaimu.
Wss….”

Surat ghaibku yang kutulis yg lainnya :
27,okt,2003
“Assalamualaikum…ya akhi
Lailakumus saidah…
Selama ini, sejak kepergianmu, aku tak semangat lagi melakukan aktivitasku seperti biasanya. Mungkain aku telah berputus asa dari rahmat Allah. Namun di hari ini aku akan menjadi lebih baik. Menjadi lebih tegar. Jikalaupun aku tak bisa melihatmu lagi, namun ku yakin aku akan bisa bertwmu denganmu lagi. Kini ku tak mw lg berputus asa. Karna aku yakin skali bahwa jika aku putus asa aku akan menjadi orang-orang yang merugi.
Tuhan… Malam ini mjd saksi
Saksi cinta antara ku denganya
Kandas sudah
Hilang sudah
Bintangpun enggan menyapa
Bulanpun enggan tersenyum
Kini aku benar-benar sendiri
Tak ada suka di hatiku
Hanya tertinggal duka dan lara
Tuhan…mala mini mjd saksi
Terombang-ambingnya aku
Dibawa gelombang laut
Namun ku terdampar di pojok
Di sudut hari
Sendiri….
Sendiri….
Tuhan…akankah semua kan kembali???

Mahpud, semoga Allah menyampaikan salam rinduku untukmu.
Wassalamualaikum….”

Ku lalui hari-hariku penuh dengan warna. Ku tak mau terlarut dalam kesedihan dan masa laluku. Aku kini mulai bangkit lagi.

“Zahra, kesini , aku menemukan bukunya”, teriak Jihan padaku. “ dimana?”, tanyaku keheranan. “ disini”,pekiknya. Lalu ku hampiri suara Jihan. Ha…ha….ha….ternyata dia menemukan buku diariku. Buku diaryku sudah seminggu ini hilang atau semacam ketlesut entah dimana. Akhirnya Jihan menemukan dimana bukuku itu. Ternyata di dalam tasku yang sudah seminggu ini tak kupakai untuk pergi ke kampus. “ syukron, ukhti…”
Ku lewati hari-hari selama setahun ini penuh dengan suka cita walaupun terkadang duka masih menyelimuti benakku. Dan selama setahun ini pula aku telah menghabiskan 5 buku untuk menuliskan surat ghaibku untuk si pujaan hati.

Hari ini aku dan semua angkatan akan di wisuda. Tak heran aku dan teman-teman berdoa demi kelancaran acara ini. Setelah 2 jam kemudian, kita dinyatakan lulus, alias berhasil meraih gelar sarjana S1. Ya. Memang begitulah yang kami harapkan.

Seusai di wisuda aku berpamitan pada Jihan temzn baikku yang juga sekost dan sekamar denganku. Aku akan kembali ke Pacitan untuk membantu usaha bapak dan ibu dalam mengelola masjid akbar.

Sesampai disana, kedua orangtuaku dan para tetanggaku menyambutku dengan kegirangan. Namun aku masih dalam kelelahan seusai perjalananku dari daerah seberang. Aku langsung menuju ke kamarku yang setelah sekian lama aku tinggalkan untuk menggali ilmu. Aku sangat rindu sekali dengan keadaan di sekeliling rumahku.

Keesokan harinya aku diajak bapak dan ibuku pergi ke masjid akbar. Aku dimintai untuk mengisi acara dengan sambutan pidato mewakili daerah Pacitan. Karena para undangan yang datang lumayan cukup banyak dari segala penjuru daerah. Ya…cukup deg-degan lah untuk orang seperti aku yang memiliki sifat pemalu ini. Namun seusai ku berpidato, aku merasa lega. “ huuh….lega “, desusku dalam hati.

Seiring berjalannya waktu, aku terbiasa mengisi acara-acara pengajian maupun training kerohanian. Aku mulai agak memiliki rasa kepercayaan diri alias PD yang cukuplah untuk seumuranku. Aku juaga mulai mengganntikan profesi ayahku sebagai guru mengaji bagi anak-anak kecil. Aku senang dengan kehidupanku saat ini. Dan semenjak aku kembali ke Pacitan aku berusaha untuk membuang jauh anganku untuk bertemu kembali dengan Mahpud.

Hari ini adalah hari Minggu. Dimana anak-anak kecil sangat rajin dan semangat sekali untuk pergi ke pengajian ahad pagi yang biasanya dilanjutkan dengan mengaji bersama yang aku adalah pembimbingnya. Sudah sebulan aku melakukan hal ini. Namun aku dan anak-anak seperti sudah kenal begitu lama. Ku jalani seperti air yang mengalir. “ iqra’ bismirobbikalladzi kholaq, kholaqol insaana min ‘alaq, iqra’ wa robbukaal akrom, alladzi ‘allama bil qolam, ‘allamal….”, ajarku pada anak-anak yang mengaji padaku, QS: al-‘alaq. Namun belum selesai ku melafadzkan ayat suci al-qur’an itu, datanglah ucapan salam yang tertuang dari mulut seorang pria,” assalamualaikum….”, lalu dengan serentak aku dan anak-anak yang sedang mengaji menjawab salam sekaligus doa tersebut ”wa’alaikumsalam…”, lalu ku beranjak mendekati arah suara itu. Tepat di depan pintu masjid. Ku terbelalak tak percaya, dengan apa yang aku lihat. Dia datang. Dia Mahfudzin. Tapi dari mana dia tahu akan keberadaanku ? “ assalamualaikum ya ukhti Zahra, sahabatku, kaifa khaluk? Afwan jikalau ana lancang berkunjung kesini tanpa kuberi tahu terlebih dahulu maksud kedatanganku”. Aku hanya bisa diam 1000 bahasa memandang masih tak percaya. 4 tahun sudah aku berpisah dengannya, tak mengetahui keadaannya apalagi kabarnya. “ waalaikumsalam, Alhamdulillah ana bi khoirin, kok antum kesini gak kabar-kabar dulu?, o iya hampir lupa, silahkan masuk ke masjid, tidak enakberbincang-bincang di depan pintu masjid”. Sesaat kemudian aku dan Mahpud masuk ke dalam masjid dekat dengan anak-anak yang sedang mengaji karena aku tak mau tersebar fitnah. Dia menceritakan padaku tentang apa yang telah menimpa dirinya dan keluarganya di Singapore sana.” Zahra, perlu kamu ketahui, disana ibuku telah berhasil melewati masa-masanya yang kritis dalam operasi. Ibuku sembuh dari penyakitnya, walaupun belum sempurna. Dan dalam masa yang sehat, ibu dan ayahku benar-benar menjodohkanku dengan Ratna. Dalam kehidupan rumahtangga kami, kami banyak diselimuti pertikaian antara aku dan Ratna yang mungkin hanya berselisih pendapat sedikit saja. Lama-lama ibu dan ayahku tahu akan sifat Ratna yang sebenarnya. Awalnya mereka tidak percaya dengan apa yang kuucapkan, dan mereka berdua akhirnya membuktikan sendiri kebenaran dari ucapanku. Mereka datang ke rumah dan melihat akan apa yang telah Ratna perbuat padaku. Dia sebagai istri seharusnya melayaniu dengan baik. Namun pada kenyataannya dia malah menghinaku, menfitnahku bahwa aku telah berselingkuh, padahal aku tahu denganmata kepala ini sendiri bahwa ialah yang berselingkuh. Saat kejadian itu, ayah dan ibuku menyuruhku untuk menceraikannya. Aku turuti apa yang dimau oleh kedua orangtuaku. Aku tak peduli akan apa yang menimpa dirinya kini. Aku sudah bosan hidup dengannya. Yang aku makan hanyalah sebuah cemoohan yang tak pernah aku melakukan apa yang telah ia tuduhkan. Akhirnya aku dan orangtuaku berinisiatif untuk kembali ke Jawa saja. Karena dengan ini mungkin saja luka di hatiku bisa terhapuskan. O ya….Zahra, kok kamu tidak bingung, karena aku bisa disini? Menengokmu?”, ku masih tertegun melihatnya. Ku tak sampai hati melihatnya, bercucuran air mata tanda bahwa ia benar-benar dilukai oleh orang yang telah dipercaya kedua orangtuanya. “ memang antum tahu saya ada disini dari siapa?”, tanyaku penuh keheranan. “ sebelum aku datang kesini,aku mampir ke kosmu, aku diberi tahu Jihan bahwa setelah wisuda kamu kembali ke Pacitan. Ya….aku kesini, Tanya alamatmu pada orang-orang, cukup terkenal. Karena dijarak yang masih lumayan jauh dari sini aku bertanya pada seseorang namun orang itu langsung tahu akan keberadaanmu. Lalu ku datangi rumahmu. Ibumu berkata bahwa kamu sedang mengajar anak-anak mengaji di masjid akbar, disini. Akhirnya aku kesini, menemuimu”, jawabnya yang penuh dengan alasan. “Zahra, sahabatku, aku ingin bertemu orangtuamu. Aku ingin melamarmu. Aku sudah ceritakan semua tentangmu pada kedua orangtuaku. Dan Alhamdulillah mereka setuju jikalau seandainyya aku menimangmu. Mereka percaya bahwa kamu adalah anak yang baik, ramah, dandermawan. Buktinya, kamu telah menjabat gelar S1, namun kamu tidak malu untuk meneruskan perjuangan dakwah ayah ibumu dalam mengurus sgala apa di masjid ini. Aku juga diberi beberapa buku oleh Jihan yang telah aku baca sesaat sebelum aku sampai disini. Aku mengetahui hatimu. Aku mengetahui apa yang kamu inginkan. Ternyata selama ini aku salah menilaimu. Seandainya saja kamu mengutarakan isi hatimu, mungkin tak lama seperti ini kamu menungguku. Saat pertama kali perkenalan itu ku akui aku jatuh ahti padamu. Namun ku tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Dan ketika ku pergi ke Negara tetangga, sungguh aku tak ingin meninggalkanmu disini sendiri. Sungguh aku ingin selalu bersamamu. Namun aku tak bisa menolak keinginan orangtuaku. Dan kini, aku datang untukmu. Aku datang di sisimu. Aku datang untuk hidup dan merajut tali asmara denganmu. Zahra, nama seperti bunga, yang indah dipandang mata dan sejuk dirasakan oleh hati”. “ benar yang dikatakan oleh anakku, Zahra. Ia benar-benar tulus mencintaimu. Ia memilihmu untuk menemaninya nanti. Ibu dan bapak berharap, nak Zahra mau menerima lamaran kami”, sahut suara dari kejauhan yang semakin mendekat, yakni suara ayah Mahpud. Namun kini aku hanya menangis. Aku tak tahu apa yang harus kuucapakan. Ku coba berististighfar pada Allah, ku coba tenangkan diri. Lalu kujabat kedua tangan ayah dan ibu Mahpud yang terlihat berharap sekali aku menemani anaknya itu. Ku coba tuk menjelaskan, “ ibu, bapak, mas Mahpud, ini bukan hanya kehendak dari saya saja untuk menerima lamaran ini. Mungkin alangkah lebih baiknya jikalau ini dibicarakan di rumah saja”, ucapku sambil ku menyeka air mata yang jatuh tak terhitung jumlahnya.

Sesampai di rumah, keluarga Mahpud menyampaikan tujuan kedatangannya ke rumah, tiada lain untuk melamarku. Tak ku sangka drngan begitu cepat ibu dan ayahku menyetujuiku untuk menikah dengan Mahpud alias Mahfudzin. Karena orangtuaku telah mengenal sekali dengan orangtua Mahpud. Merekalah yang membantu membiayai aku sekolah sejak kecil karena kurangnya/ lemahnya ekonomi keluargaku.

Hari yang ditunggupun datang. Acara dimulai. Saat ku lihat Mahpud memakai koko putih, masya allah….begitu anggunnya ciptaan-Mu ini ya robb, .
Kini penantianku selama bertahun-tahun telah usai. Orang yang selalu kunantikan kehadiranyadi hatiku kini telah datang sendiri, menjemputku, mengajakku, melalui hari-hari bersama.
Ya Allah…trima kasih atas sgala kenikamatan yang Engkau berikan padaku…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar